Catatan: Deni Irwansyah
Di Indonesia—khususnya di Provinsi Bengkulu dan Sumatera Selatan—ada luka lama yang terus dibuka kembali setiap tahun ajaran baru. Namanya: pungutan seragam sekolah. Ini bukan hanya tentang kain atau harga. Ini adalah tentang sistem pendidikan yang membusuk dari dalam. Tentang bagaimana jargon “pemerataan pendidikan” berubah menjadi alat penindasan baru. Dan sayangnya, negara diam—seolah tuli terhadap jeritan rakyat kecil yang tercekik oleh biaya-biaya tak masuk akal yang mengatasnamakan “aturan sekolah”.
Kita tak perlu bicara teori. Lihat saja yang terjadi di Kota Lubuklinggau. Orang tua siswa mengeluhkan aturan ganjil di sebuah Sekolah: pembayaran seragam menjadi syarat wajib daftar ulang. Ironi menyakitkan ini berulang dari tahun ke tahun, dibungkus dalam kalimat manis: “sumbangan sukarela” atau “kesepakatan komite”, padahal faktanya: pungli terselubung.
Lalu, mari tengok Provinsi Bengkulu. Sebuah video viral memperlihatkan 11 anak TK dikucilkan dari acara perpisahan, hanya karena tak mengikuti “pola seragam” tertentu. Mereka bahkan tidak diundang. Seragam jadi pembeda kasta, bukan simbol kesetaraan. Ini bukan insiden biasa. Ini adalah bukti nyata diskriminasi institusional yang melukai anak-anak sejak usia dini—anak-anak yang seharusnya hanya mengenal tawa, bukan luka karena kelas sosial.
Apakah kita masih bisa menyebut ini “pendidikan untuk semua”? Atau sudah waktunya kita jujur bahwa sekolah kini sedang dijajah oleh elitisme baru: guru, kepala sekolah, dan komite yang bermain mata dengan vendor tertentu demi keuntungan sendiri?
Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 sudah jelas: pungutan semacam ini dilarang. Tapi di lapangan, aturan itu seperti fosil—dilihat tapi tidak dianggap. Dinas pendidikan daerah, termasuk di Bengkulu dan Sumsel, seharusnya menjadi pengawas dan pelindung, justru berubah menjadi menara gading yang tak mendengar rintihan rakyat.
Ini bukan lagi kelalaian. Ini pengkhianatan terhadap konstitusi. Ketika hak dasar anak-anak dibajak oleh sistem yang korup, maka kejahatan ini tak boleh lagi ditoleransi.
Sudah saatnya Ombudsman RI, Inspektorat Daerah, bahkan aparat penegak hukum turun langsung ke sekolah-sekolah. Jangan tunggu viral. Jangan tunggu ada anak menangis atau orang tua ngamuk di depan gerbang sekolah baru bergerak.
Tindakan tegas harus dilakukan:
Sekolah yang menjadikan seragam sebagai syarat daftar ulang harus disanksi administratif.
Kepala sekolah yang terlibat dalam pemaksaan merk atau vendor tertentu harus dievaluasi dan dicopot.
Dan paling penting: beri orang tua kebebasan menentukan di mana membeli seragam, dari siapa, dan dengan harga wajar.
Karena pendidikan bukan tempat bisnis. Sekolah bukan showroom. Dan seragam, jangan lagi jadi alat pemerasan yang disahkan oleh diamnya negara.
Jika negara memilih untuk tetap diam. Dan kami tidak akan berhenti sampai kebusukan ini dibongkar, dan keadilan benar-benar berpihak pada anak-anak bangsa—terutama mereka yang selama ini dikucilkan hanya karena tak mampu membeli kain bernama “keseragaman”.
Karena diam terhadap ketidakadilan, adalah kejahatan yang tak kalah busuk.